Pendidikan. Hal yang penting dan mendasar bagi manusia. Pendidikan bisa berarti dua, formal dan non formal. Dari pendidikan formal biasanya kita mendapat dari sekolah, sedangkan pendidikan non formal bisa kita dapatkan dari keluarga dan lingkungan. Di Indonesia sendiri kelihatannya pendidikannya bagus dan mahal, namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi sebenarnya?
Di Indonesia sendiri bisa kita lihat dari sistem pendidikannya sendiri, anak-anak atau murid hanya dipacu untuk mendapat nilai yang bagus. Tiap hari mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang isinya hanya kumpulan soal. Siswa atau murid bukannya dipacu untuk mengerti bagaimana proses teori tersebut, tetapi justru dengan memacu murid untuk mendapat nilai yang bagus. Rumus-rumus yang disingkat tanpa mengerti proses yang terjadi. Hasil dari sistem yang seperti ini adalah individu-individu seperti robot,melakukan apa yang diperintahkan tanpa mengerti apa yang dikerjakan, hanya mementingkan hasil tanpa mengerti proses. Padahal hafalan merupakan produk mental pada tingkat terendah yang tergolong primitif.
Lalu kita lihat dari ketetapan kelulusan tingkat sekolah, yang mewajibkan siswa mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). UAN sendiri terdiri dari berbagai pelajaran (sesuai dengan jurusan) dan ada nilai minimal dari hasil semua mata pelajaran ini. Akibatnya? Siswa yang tidak semua mengerti mata pelajaran akan berusaha berbagai cara. Ada yang dengan mengikuti bimbingan belajar (lagi-lagi dengan metode rumus singkat), dan bahkan dengan mencontek dan berbagi jawaban. Jadi? Apakah sistem kelulusan seperti ini sudah merupakan yang terbaik? Padahal tiap anak, tiap manusia, mempunyai bakat dan kepintaran sendiri-sendiri. Dalam skala kecil, lulusan dengan metode pendidikan seperti ini adalah lulusan dengan motivasi bekerja yang hanya berorientasi pada uang dan bermodalkan ijazah.
Selanjutnya kita lihat dari tenaga pendidik. Para institusi hanya mementingkan bisnis dengan memberikan pelajaran-pelajaran kognitif saja. Para pendidik pun banyak yang hanya mengajar karena tertarik dengan fasilitas yang disediakan, bukan untuk mengembangkan dan membuat para murid mengerti (bukan berarti semua pendidik seperti itu).
Kurikulum pendidikan yang dirancang dengan dominasi pembelajaran berorientasi otak kiri sangat mudah dijadikan alat untuk melanggengkan suatu dinasti. Dan hal ini memang terjadi di banyak negara dengan sistem yang secara terang-terangan membatasi rakyatnya untuk berpikir divergen (Santoso, 2013)
Selain itu cara kita untuk memotivasi pun terkadang hanya membuat para murid tertekan. Kita biasa memberi pernyataan-pernyataan kontradiktif seperti :
"Kamu harus belajar. Kalau tidak kamu tidak lulus"
"Belajar yang rajin. Kalau tidak kamu tidak bisa masuk sekolah favorit"
dan lain semacamnya.
Kita lihat negara Finlandia. Negara ini memiliki mutu pendidikan yang terbaik. Bagaimana tidak? jika syarat dan kompetensi untuk menjadi pengajar/pendidik merupakan tes tersulit di negara ini. Setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.
Dari semua keadaan ini, kita dapat mengubah diri kita dan para pendidik dengan tidak hanya mengajar dengan orientasi otak kiri. Kita juga jangan menerapkan motivasi yang salah dalam membuat murid untuk belajar. Buatlah mereka senang dan tertarik untuk belajar, sehingga mereka tidak hanya sekedar menghafal, namun menikmati apa yang mereka simak. Buatlah motivasi belajar dengan contoh seperti ini :
"Kamu tahu bintang itu. Yang kamu lihat itu sebenarnya sudah tidak ada | Loh, mengapa? | Iya, karena memnag bintang itu sudah tidak ada lagi | Tapi saya masih bisa melihatnya | Karena cahaya tersebut terbentuk beberapa ribu tahun lalu, namun baru sampai ke bumi pada masa sekarang, karena masalah jarak yang teramat jauh. (Dan pada akhirnya si murid tertarik dengan pelajaran fisika)
Dan berbagai contoh lainnya.
Seperti anonim katakan,
"Untuk mengubah sesuatu, mulailah dengan mengubah diri sendiri"
Salam :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar